MENITI
HIDUP
DENGAN KEMULIAAN
Oleh :
FITRIYANTI
NIM. 162010026
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karunia-Nyalah tulisan ini dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Misi
utama Nabi Muhammad SAW. adalah untuk menyempurnakan akhlak. Pendidikan akhlak
merupakan pendidikan yang sangat penting dalam kehidupan. Penguatan akidah
adalah dasar, sedangkan ibadah adalah sarana, dan tujuan akhirnya adalah pengembanngan
akhlak mulia. Karena itu, pelajaran pendidikan agama Islam berorientasi kepada bukan
hanya pada aspek kognitif saja, melainkan akhlak mulia terhadap sesama muslim,
sesama manusia, bahkan pada semua makhluk ciptaan Allah SWT. Hal ini selaras
dengan Kurikulum 2013 yang dirancang untuk mengembangkan kompetensi yang utuh
antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Peserta didik tidak hanya
diharapkan bertambah pengetahuan dan wawasannya, tetapi juga meningkat
kecakapan dan keterampilannya serta semakin mulia karakter dan kepribadiannya.
Akhir kata, penulis
menyadari bahwa isi materi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran dari pembaca sangat
penulis harapkan guna perbaikan selanjutnya. Akhir kata hanya kepada Allah SWT.
penulis berharap, semoga isi tulisan ini bermanfaat, khususnya bagi penulis
sendiri. Aamiin.
Serang, Agustus 2018
MENITI
HIDUP DENGAN KEMULIAAN
PETA KONSEP
Membuka
Relung Hati
Cermati
Gambar dan Wacana Berikut !
Hidup mulia atau mati syahid! Sebuah ungkapan yang bermakna ajakan untuk hidup secara mulia atau mati secara syahid. Jika direnungkan, ungkapan tersebut memiliki makna yang sangat dalam. Hidup mulia adalah dambaan setiap manusia ketika hidup di dunia. Mati syahid adalah salah satu cara mendapatkan anugerah Allah SWT. kelak di akhirat, yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan. Jadi, hidup mulia dan mati syahid adalah ungkapan yang selalu memotivasi orang yang beriman agar selalu berada di jalan Allah Swt. Agar lebih jelas memahami ungkapan tersebut, cermatilah pengalaman hidup Nabi Yusuf as. Berikut ini.
Ketika usianya masih sangat belia, ia dicemplungkan
dengan sengaja ke sebuah perigi oleh saudara-saudaranya sendiri. Ia memang
selamat setelah ditemukan oleh serombongan kafilah. Namun, mereka membawa
Yusuf kecil ke Mesir dan menjualnya sebagai hamba sahaya.
Untuk beberapa lama ia pun hidup sebagai pembantu di rumah seorang pejabat
Mesir.
|
Tentara, sebagai simbol pembela
negara.
|
Sejalan
dengan usianya yang tumbuh dewasa, ujian pun mendatanginya. Istri si pejabat
bersiasat merayu dan menggoda Si Tampan Yusuf. Inilah ujian yang amat berat
karena pada akhirnya, Yusuf-lah yang kemudian menjadi tertuduh melakukan
perbuatan mesum kepada majikannya. Kata Yusuf, “Wahai Tuhanku, penjara
lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku...” (Q.S. Yusuf/12:33).
Seperti yang kalian ketahui, Nabi Yusuf as. pun akhirnya memang dipenjara.
Inilah episode memilukan dari kehidupan manusia. Apa yang selanjutnya terjadi
terhadap Nabi Yusuf as., apakah ia terpuruk dan tenggelam dalam kesengsaraan?
Tidak! Tetapi lihatlah, penjara justru menjadi batu ujian terhadap kenabian
Yusuf as. Dan yang lebih membahagiakannya adalah melalui episode itu, Allah
Swt. mempertemukan kembali Yusuf dengan orang tua dan saudara-saudaranya.
|
|
Catatlah tiga istilah kunci ini yaitu pengendalian diri,
prasangka baik, dan persaudaraan. Nabi Yusuf as. adalah sosok terpuji
karena kemampuannya mengendalikan diri untuk tidak memenuhi nafsu setan
istri seorang pejabat Mesir. Lagi, ia pun berhasil mengendalikan diri
untuk tidak secara semenamena menuntut balas atas saudara-saudaranya
yang telah berbuat keji tehadap dirinya. Padahal, kalau mau sebagai
pejabat tinggi pasti sangat mudah baginya menuntut balas. Di saat-saat
ia menanggung cobaan berat dengan dibuang ke perigi, kemudian dilelang
sebagai hamba sahaya, dan dipenjara karena dituduh memerkosa,
tidaklah pernah ia berprasangka buruk kepada Allah Swt. atas takdir yang
menimpanya. Ia pun tidak menaruh prasangka buruk terhadap saudarasaudaranya yang
keji. Bahkan Nabi Yusuf as. memilih untuk menghimpun mereka dalam
keutuhan keluarga yang penuh persaudaraan.
Memperkaya Khazanah Peserta Didik
A.
Memahami
Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik, Husnuẓẓan dan Persaudaraan (Ukhuwah)
1.
Pengendalian Diri (Mujāhadah an-Nafs)
Pengendalian
diri atau kontrol diri (Mujāhadah an-Nafs) adalah menahan diri dari
segala perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan juga orang lain, seperti
sifat serakah atau tamak. Dalam literatur Islam, pengendalian diri dikenal
dengan istilah aś-śaum, atau puasa. Puasa adalah salah satu sarana
mengendalikan diri. Hal tersebut berdasarkan hadis Rasulullah saw. yang
artinya: “Wahai golongan pemuda! Barangsiapa dari antaramu mampu
menikah, hendaklah dia nikah, kerana yang demikian itu amat menundukkan
pemandangan dan amat memelihara kehormatan, tetapi barangsiapa tidak
mampu, maka hendaklah dia puasa, kerana (puasa) itu menahan nafsu
baginya.” (H.R. Bukhari)
Jadi, jelaslah
bahwa pengendalian diri diperlukan oleh setiap manusia agar dirinya terjaga
dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt.
Dapatkah kamu
memberikan contoh perilaku yang menunjukkan sikap pengendalian diri? Diskusikan
dengan teman-temanmu.
2.
Prasangka
Baik (ḥusnuẓẓan)
Prasangka baik
atau ḥusnuẓẓan berasal dari kata Arab, yaitu ḥusnu yang artinya
baik, dan ẓan yang artinya prasangka. Jadi, prasangka baik atau positive
thinking dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah ḥusnuẓẓan. Istilah
ḥusnuẓẓan adalah sikap orang yang selalu berpikir positif terhadap apa
yang telah diperbuat oleh orang lain. Lawan dari sifat ini adalah buruk sangka
(su’uẓẓan), yaitu menyangka orang lain melakukan hal-hal buruk tanpa
adanya bukti yang benar. Dalam ilmu akhlak, ḥusnuẓẓan dikelompokkan kedalam
tiga bagian, yaitu ḥusnuẓẓan kepada Allah Swt. ḥusnuẓẓan kepada
diri sendiri, dan ḥusnuẓẓan kepada orang lain.
Prasangka baik
adalah sifat yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang yang beriman.
Sebaliknya, prasangka buruk adalah sifat yang harus dijauhi dan dihindari.
Mengapa demikian? Dapatkah kamu menjelaskan dan mengemukakan dampak positif
dari perilaku ḥusnuẓẓan, serta dampak negatif dari perilaku su’uẓẓan?
3.
Persaudaraan
(ukhuwwah)
Persaudaraan (ukhuwwah)
dalam Islam dimaksudkan bukan sebatas hubungan kekerabatan karena faktor
keturunan, tetapi yang dimaksud dengan persaudaraan dalam Islam adalah
persaudaraan yang diikat oleh tali aqidah (sesama muslim) dan
persaudaraan karena fungsi kemanusiaan (sesama manusia makhluk Allah Swt.).
Kedua persaudaraan tersebut sangat jelas dicontohkan oleh Rasulullah saw.,
yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anṣar, serta
menjalin hubungan persaudaraan dengan suku-suku lain yang tidak seiman dan
melakukan kerja sama dengan mereka.
B.
Ayat-Ayat al-Qur’ān tentang Pengendalian Diri, Prasangka
Baik, dan Persaudaraan (Ukhuwah)
1.
Q.S.
al-Ḥujurāt/49:12
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ
وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن
يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Hujurat (49):12)[1]
![]() |
2. Q.S. al-Hujurāt/49:10
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ
تُرۡحَمُونَ ١٠
Artinya:
“Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat”. (Q.S Al-Hujurat (49):10)[2]
![]() |
C.
Kandungan
Ayat
Pada ayat di
atas Allah Swt. menegaskan ada dua hal pokok yang perlu diketahui. Pertama,
bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Kedua, jika terdapat
perselisihan antarsaudara, kita diperintahkan oleh Allah SWT. untuk melakukan iślah
(upaya perbaikan atau perdamaian).
Apakah indikasi
dari suatu persaudaraan? Rasulullah saw. bersabda:
“Demi Allah yang menguasai diriku! Seseorang di antara kalian tidak
dianggap beriman kecuali jika dia menyayangi saudaranya sesama mukmin sama
seperti dia menyayangi dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari)
Selain itu
Rasulullah saw. juga menegaskan, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan
tangannya tidak menyakiti muslim lain, dan orang yang berhijrah adalah orang
yang meninggalkan semua larangan Allah.” (H.R. Bukhari)
![]() |
Pesan-Pesan Mulia
Simaklah kisah berikut. Kemudian cermati secara saksama
pelajaran yang terkandung di dalamnya.
Kisah
Habil dan Qabil
Qabil adalah salah seorang anak Nabi Adam as. yang
bersaudara kembar dengan Iqlima. Sementara Habil adalah anak Nabi Adam as. yang
bersaudara kembar dengan Labuda. Iqlima terlahir dengan paras yang cantik,
sementara Labuda tidak secantik Iqlima. Semua keturunan Nabi Adam as. hidup
damai sampai mereka dewasa.
Kemudian, turun perintah Allah Swt. agar Nabi Adam as.
menikahkan anakanaknya. Allah Swt. memerintahkan agar anak yang terlahir
sebagai saudara kembar harus dinikahkan dengan anak kembar yang lain. Dengan
ketentuan tersebut, Qabil harus menikah dengan Labuda, dan Habil harus menikah
dengan Iqlima.
Ketika Nabi Adam as. menyampaikan perintah tersebut,
Qabil tidak menyetujuinya. Pasalnya, sudah lama Qabil menyukai Iqlima. Dia
menolak menikahi Labuda, dan tetap akan menikahi Iqlima. Dengan bijak, Nabi
Adam as. mengingatkan Qabil bahwa ketentuan Allah Swt. harus ditaati. Namun,
Qabil tetap pada kehendaknya untuk menikahi Iqlima, saudara kembarnya yang
lebih cantik. Akhirnya, dengan memohon petunjuk Allah Swt. dengan bijaksana
Nabi Adam as. memerintahkan Qabil dan Habil untuk berkurban. Siapa pun yang kurbannya
diterima oleh Allah Swt., segala kebutuhan dan keinginannya akan dikabulkan
oleh Allah Swt., termasuk keinginan Qabil untuk menikahi Iqlima.
Setelah semuanya dirasa siap, Qabil dan Habil pun
mempersembahkan kurbannya masing-masing di atas bukit dengan disaksikan oleh
semua anggota keluarga. Qabil mempersembahkan hasil pertaniannya. Ia sengaja
memilih gandum dari jenis yang jelek. Habil mempersembahkan seekor kambing
terbaik dan yang paling ia sayangi. Kemudian, dengan perasaan berdebar-debar,
mereka menyaksikan dari jauh. Tak lama berselang, tampak api besar menyambar kambing
persembahan Habil, sedangkan gandum persembahan Qabil tetap utuh yang berarti
kurban Habillah yang diterima.
Melihat kenyataan tersebut, Qabil yang berperangai
tidak baik dan terpengaruh hasutan iblis, menaruh dendam kepada Habil. Terpikir
olehnya, agar keinginannya menikahi Iqlima, tidak ada cara lain kecuali
membunuh Habil. Ketika terdapat kesempatan untuk melaksanakan niat jahatnya
tersebut, Qabil benar-benar melaksanakannya. Ketika Habil sedang seorang diri,
Qabil datang menghampirinya dengan niat untuk membunuh saudaranya itu.
Mengetahui hal tersebut, Habil mengingatkan Qabil agar senantiasa mengingat
Allah Swt. dan hendaklah takut kepada-Nya. Habil berkata kepada Qabil, “Sungguh
jika kamu menggerakkan tanganmu untuk
membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan
tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.” (Q.S. al-Mā’idah/5:28)
Setelah Habil terbunuh, Qabil merasa bingung. Diguncang-guncangkan
tubuh
saudaranya itu, namun tetap tidak bergerak. Lalu jenazah Habil
dibawa ke sanakemari dengan perasaan kacau, tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia merasa sangat menyesal sehingga air matanya berlinang
membasahi pipinya. Dalam kebingungannya, Allah Swt. menurunkan ilham melalui
dua ekor burung gagak yang bertarung untuk memperebutkan daging mayat Habil.
Salah seekor dari burung gagak itu tewas dalam pertarungan tersebut. Kemudian, burung
gagak yang masih hidup menggali tanah, menarik gagak yang telah menjadi bangkai
untuk dimasukkan ke dalam tanah yang telah digali dengan cakarnya, kemudian
menimbunnya dengan tanah.
Demikianlah, Qabil meniru perbuatan burung gagak itu. Ia menggali
tanah dan menguburkan mayat Habil dan menimbunnya dengan tanah. Menyadari
dirinya telah melakukan kesalahan yang sangat besar, Qabil pun merasa
ketakutan. Ia kemudian tidak berani untuk pulang ke rumah, bahkan pergi
meninggalkan kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Ia benar-benar tidak
kembali lagi, pergi masuk hutan keluar hutan, menaiki gunung, dan menuruni
lembah tak jelas arah dan tujuan.
![]() |
Evaluasi
A. Uji
Pemahaman
1.
Setiap muslim
diperintahkan untuk melakukan mujāhadah an-nafs supaya hidupnya bahagia.
Bagaimana cara menerapkan mujāhadah an-nafs dalam kehidupan sehari-hari?
2.
Apa yang akan
kamu lakukan jika mengetahui ada dua orang mukmin sedang berselisih
pendapat?
3.
Q.S. al-hujurāt/49:10
mengandung pesan-pesan yang mulia. Jelaskan kandungan Q.S. al-hujurāt/49:10
tersebut!
4.
Seseorang yang
terbiasa husnuzzan akan
memperoleh banyak manfaat dan hikmah. Sebutkan manfaat dan hikmah orang yang
berhusnuzzan.
5.
Sebutkan hukum
bacaan ikhfa’, idzhār, dan Idgām bigunnah yang terdapat dalam Q.S. al-hujurāt/49:12.
Refleksi
Berilah tanda checklist
(√) yang sesuai dengan dorongan hatimu untuk menanggapi pernyataan-pernyataan
berikut ini.
No
|
Pernyataan
|
Kebiasaan
|
||||
Selalu
|
Sering
|
Kadang-Kadang
|
Pernah
|
Tidak
Pernah
|
||
Skor
5
|
Skor
4
|
Skor
3
|
Skor
2
|
Skor
1
|
||
1.
|
Saya
membaca do’a ketika mau belajar
|
|||||
2.
|
Saat ada
bisikan hawa nafsu untuk
berbuat
maksiat, saya segera
membaca
ta’awuz.
|
|||||
3.
|
Saya
meminta maaf kepada teman jika bersalah.
|
|||||
4.
|
Saya
mudah memaafkan kesalahan teman.
|
|||||
5.
|
Saya
optimis mampu meraih cita-cita.
|
|||||
6.
|
Saya
membaca istighfar ketika melakukan kesalahan.
|
|||||
7.
|
Saya
bertutur kata lemah lembut kepada teman.
|
|||||
8.
|
Saat
berjumpa teman, saya menyapa dengan ramah.
|
|||||
9.
|
Saya
menghormati perbedaan pendapat.
|
|||||
10
|
Saya
menjaga persaudaraan dengan sesama mukmin.
|
Referensi :
Al-Ghazali,
Imam. 1995. Ringkasan Ihya Ulumuddin. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Maraghi,
Muhammad Musthafa. 1992. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Toha Putra.
Anonimious.
2010. Al-Hidayah Al-Qur’an Perkata Tajwid Kode Angka. Tangerang Selatan:
Kalim.
As Suyuthi, Jalaludin.
2008. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani
Press.
Departemen Agama RI, Al-‘Aliyy, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2005
Departemen
Agama RI, Al-Hidayah, Al-Qur’an Tafsir Perkata, Tajwid Kode Angka, Tangerang
Selatan: Kalim, 2011.
Hamka. 1984. Tafsir
Al Azhar Juz XI. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Luthfi, Hakim, Tafsir
Tazkiyah, Jakarta: Gema Insan, 2009.
M.Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002.
Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti / Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar